Indonesia: Perceraian dan Poligami

Saya merasa bersalah menulis tentang perceraian dan poligami pada saat hari Valentine. Akan tetapi dua topik yang tidak pantas disebutkan ini juga realita dari cinta dan hubungan. Di Indonesia, semakin banyak wanita yang menceraikan suami mereka karena poligami.

Dokumen menunjukkan bahwa pada 2006 terdapat hampir 1.000 kasus perceraian karena suami menikahi wanita lain. Pernikahan poligami juga meningkat – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan menerima 87 laporan poligami pada tahun 2008, meningkat dari 16 pada tahun 2007.

Semakin banyak wanita dalam pernikahan poligami yang menjadi lebih tegas akan hak-hak mereka. Abdul Khalik menulis untuk The Jakarta Post mengutip pandangan kaum terpelajar tentang isu ini:

Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar: “Terjadi banyak peningkatan perceraian yang signifikan karena wanita-wanita telah menolak poligami pada beberapa tahun terakhir.”

Mahasiswi muslim Siti Musdah Mulia: “Data menunjukkan bahwa wanita-wanita sekarang berani untuk memperjuangkan hak-haknya dan menolak dominasi laki-laki. Sekarang mereka mengatakan , ‘Apa gunanya melanjutkan suatu pernikahan jika saya tidak bahagia'”

Secara umum perceraian meningkat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Sebuah berita awal bulan ini mengkonfirmasi kecenderungan ini; dan pasangan-pasangan juga berpisah karena perbedaan politik:

Angka perceraian melonjak dari rata-rata 20.000 per tahun menjadi lebih dari 200.000 per tahun selama sepuluh tahun

Percaya atau tidak, beberapa pasangan memutuskan untuk bercerai karena suami dan istri mempunyai pandangan berbeda akan isu politik. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Umar. Pada 2005, 105 pasangan menyebut perbedaan politik sebagai sumber perpisahan mereka tetapi angka ini melonjak menjadi 502 pasangan pada 2006. Angka untuk 2007 dan 2008 belum dihitung. Pejabat itu mengatakan 90 persen pernikahan antara masyarakat yang berbeda agama berakhir pada perceraian

Indonesia Matters mengutip sebuah studi pada tahun 2007 tentang penyebab perceraian:

Penyebab utama perceraian, kata sebuah laporan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), adalah tekanan ekonomi (23%), diikuti oleh pertengkaran domestik (19%), ketidakcocokan (19%), campur tangan saudara (14%), kekerasan (12%), perzinaan (8%), and masalah seksual (3.6%). Akan tetapi angka ini hanya berdasarkan atas 109 kasus

Sebuah artikel pada tahun 2008 mengutip penyebab perceraian:

ketidakcocokan (karena perzinahan) – 54000 kasus
ketidak harmonisan – 46000
kesulitan ekonomi – 24000
campur tangan saudara – 9000
krisis keluarga – 4700
pernikahan paksa – 1700
kekerasan domestik – 900
poligami – 879
cacat biologis (seperti kemandulan) – 580
pernikahan dini – 284
hukuman penjara- 150
perbedaan pandangan politik – 157

Sangat sulit untuk menjadi seseorang yang bercerai di Indonesia. My Busy Brain menjelaskan:

Bagi beberapa masyarakat di Indonesia (Saya tidak tahu tentang negara lainnya), perceraian bukanlah suatu pilihan. Bahkan ketika pernikahan itu tidak sehat, bahkan jika kejam, seseorang memilih untuk tetap menikah karena tidak bisa membayangkan hidup sendiri, terlalu capai dan hanya menerima bahwa ini adalah takdir, atau tergantung secara ekonomi (biasanya perempuan).

Pagi ini saya ‘dibom’ oleh sebuah email yang saya terima dari teman sekolah menengah saya, bahwa dia merasa tidak sehat dan kehilangan 7 kilo dalam 3 bulan terakhir karena dia mengalami perceraian. Oh Tuhan. Jangan lagi. Biarpun saya sendiri bercerai, saya tidak suka mendengar orang lain bercerai karena saya tahu betapa sakit hal ini

Parvita menulis tentang stigma yang diasosiasikan dengan janda di Indonesia:

Saya tidak mempunyai masalah untuk bercerai, bercerai adalah hal yang tepat untuk dilakukan pada saat itu dan saya tidak pernah menyesalinya. Ketika orang-orang menanyakan saya ke mana suami saya, saya mengatakan kepada mereka bahwa saya bercerai. Biasanya, mereka yang merasa tidak nyaman.

Hal yang menyedihkan yang saya ingin alamatkan di sini, bahwa setelah tiga tahun, orang yang saya harapkan mampu untuk menerima saya apa adanya, masih tidak mampu menerima ini dan melihat saya sebagai orang yang tidak sempurna. Saya yakin banyak wanita di negara saya mengalami hal yang sama, terlebih dari generasi yang lebih tua atau dari kalangan konservatif. Walaupun ada keberanian mereka untuk tinggal sendiri, mereka tetap bertahan dengan pernikahan yang tidak bahagia karena takut akan pandangan orang lain, atau hanya karena mereka tidak mandiri, dalam keuangan atau mental.

Di Indonesia, wanita dianggap sukses bukan dari apa yang sudah mereka capai, akan tetapi dari suami mereka, berapa banyak anak yang mereka lahirkan dan seberapa gemuk anak mereka dan ke mana anak-anak mereka bersekolah.

Blog Nin's journey terinspirasi oleh pos yang ditulis oleh Umm Faroug tentang menjadi seorang feminis Muslim yang radikal:

Sebagai seorang feminis Muslim yang radikal, saya tahu hak-hak saya sebagai seorang istri, yaitu untuk diberi makan, tempat tinggal, pakaian, dan dirawat dengan cara yang pantas untuk saya. Saya mempunyai hak atas suatu perjanjian nikah yang melindungi saya dalam kasus pereraian.

Pada catatan yang lebih ringan, Indosingleparent Community memposting gambar kue perceraian. Pemilik restoran berkebangsaan Indonesia, Puspo Wardoyo, menawarkan “jus poligami”, campuran dari empat buah tropis, dan “sayuran poligami”, sebuah kombo empat sayuran, di restorannya.

Gambar thumbnail yang digunakan berasal dari halaman Flickr dari Daquella Manera

3 komentar

Bergabung dalam diskusi

Relawan, harap log masuk »

Petunjuk Baku

  • Seluruh komen terlebih dahulu ditelaah. Mohon tidak mengirim komentar lebih dari satu kali untuk menghindari diblok sebagai spam.
  • Harap hormati pengguna lain. Komentar yang tidak menunjukan tenggang rasa, menyinggung isu SARA, maupun dimaksudkan untuk menyerang pengguna lain akan ditolak.